Penderitaan atas
perlakuan diskriminasi Penguasa dan Pengusaha yang dialami Buruh Kontrak
dan Out Sourching mulai marak semenjak diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Demi untuk mendapatkan
keuntungan yang besar, Pengusaha/Perusahaan dengan berbagai cara dan
berbagai motif mengganti Buruh tetap dengan Buruh Kontrak dan Out
Sourching, atau melakukan recruitment karyawan baru dengan status Buruh
Jontrak dan Out Sourching.
Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu adalah sebutan lain bagi Buruh Kontrak dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pada BAB IX HUBUNGAN KERJA dalam
setiap pasalnya mulai dari Pasal 56 ayat (2) sampai dengan Pasal 59
mengatur jelas tentang bagaimana dan untuk pekerjaan apa saja yang
diperbolehkan bagi Buruh Kontrak, kemudian diperkuat lagi dengan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
: Kep-100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu, namun karena tidak adanya pasal atau aturan yang tegas
mengatur sanksi apabila Pengusaha melakukan pelanggaran atas Buruh
Kontrak ini, sehingga ini dijadikan peluang bagi Pengusaha untuk
melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap Buruh Kontrak.
Begitu
juga pengaturan tentang bagaimana mekanisme dan untuk pekerjaan apa
saja yang boleh dilakukan Buruh Out Sourching diatur jelas dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mulai dari Pasal 64 sampai dengan
Pasal 66, kemudian diperkuat lagi dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor : Kep-220/Men/X/2004 tentang Syarat-syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, namun
dalam hal inipun sama halnya dengan nasib Buruh Kontrak. Karena tidak
adanya pasal atau aturan yang tegas mengatur sanksi apabila pelanggaran
dilakukan terhadap Buruh Out Sourching ini, sehingga ini dijadikan
peluang bagi Pengusaha untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap
Buruh Out Sourching, bahkan nasibnya lebih tragis dari nasib Buruh
Kontrak.